. Kajian Salaf: 2011

Jumat, 15 April 2011

MENOLAK DOA IBU


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ustadz, saya wanita 33 tahun, punya 3 orang anak (dari mantan suami kedua), yang selalu memahami kondisi hati mamanya. Saat ini saya menikah, merupakan pernikahan ke 3 bagi saya dan kedua bagi suami ( 3 anak dari suami).

Ustadz…. Pernikahan kami tidak di restui oleh orang tua saya, bahkan saat ini saya dan anak-anak sudah di buang dari keluarga besar. Kedua orang tua saya memberikan syarat agar saya bercerai dari suami jika masih ingin diakui sebagai anak. Subhanallah….. sungguh tidak dapat saya terima syarat tersebut.

Niat saya menikah lagi ketika itu agar dapat membentuk keluarga yang sakinah,warahmah dan mawaddah. Terlepas dari kesalahan & dosa kami di masa lalu, niat mempertahankan dan menjalankan pernikahan ini begitu kuat dan saya terus belajar agar menjadi umat–Nya yang dicintai & selalu bertaubat, menjadi istri & mama yang pantas bagi keluarga kecil kami.

Selain telah mengenakan jilbab, saya berusaha menjalankan ibadah wajib dan sunnah lebih baik, juga di tambah dengan berdzikir memohon ampunan, petunjuk, dan perlindungan dari-Nya. Sangat sering bibir ini berdoa dan air mata ini mengalir memohon Ridha Allah l agar pintu hati kedua orang tua saya terbuka dan dapat menerima kami. Dan tak henti saya memohon agar kami di berikan ketenangan, kekuatan, dan kesabaran dalam menghadapi kehidupan ini (amin) ( yang kadang ada saja pertengkaran suami istri yang tak dapat saya hindari, Nauzubillah…) mengingat suami sangat sensitif dan temperamental. Subhanallah….. Saya selalu berusaha bersabar dan memohon di berikan kekuatan ketika keluar kata-kata yang sering menyakitkan hati saya dari mulut suami.

Apakah ini karena orang tua tidak ridha? Ibu saya terus berdoa dan berharap agar rumah tangga saya hancur. Padahal Ibu saya adalah orang yang sangat baik ibadah dan amalnya. Apakah saya anak yang durhaka? Bagaimana dengan doa Ibu saya tadi? Dan bagaimana menyikapi suami yang kadang tak dapat saya kendalikan emosi dan amarahnya ? Suami sangat bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga dan alhamdullillah hubungan saya dengan mertua baik. Mohon saran dan doanya ustadz. “syukran” ( Hamba Allah – Kota BM )

Jawaban:

Waalikumsalam warahmatullah wabarokatuh.

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang senantiasa setia mengikuti ajarannya yang lurus hingga hari kiamat. Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Saudariku yang dirahmati Allah, Islam adalah agama yang sempurna dan pembawa rahmat bagi alam semesta. Islam juga merupakan satu-satunya agama yang memberikan solusi tepat untuk menggapai kehidupan rumah tangga yang bahagia (sakinah, mawaddah, dan rahmah).

Saudariku, problema yang sedang anda alami itu hanyalah sebagian dari sekian banyak ujian yang Allah berikan kepada para hamba-Nya, maka sebagai seorang muslim, kita harus bersikap sabar dalam menghadapi ujian apapun agar kita sukses dengan meraih pahala yang besar dan keridhoan dari Allah. Apalagi niat dari awal anda untuk menikah sungguh mulia, yaitu agar dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah dan terbebas dari segala dosa yang telah diperbuat di masa lalu.

Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan saja jika ia telah mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka sehingga terbukti bagi Allah orang-orang yang sungguh-sungguh dalam imannya dan terbukti juga orang-orang yang berdusta.” [QS. Al-Ankabut: 2-3]

Saudariku, bertakwalah kepada Allah dan istiqomahlah dalam berdoa kepada-Nya agar Dia membukakan pintu hati kedua orang tuamu supaya mau merestui pernikahanmu dan menyambung kembali hubungan silaturahim denganmu yang telah terputus. Semoga dengan demikian Allah merubah keadaan keluargamu menjadi lebih baik. Berdasarkan janji Allah di dalam Al-Quran Al-Karim: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya”. [QS. Ath-Thalaq: 2] dan firman-Nya pula: “Barangsiapa bertakwa kepada Alla niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” [QS. Ath-Thalaq: 4].

Kami juga ingin menanyakan kepada anda, dengan sebab apakah kedua orang tuamu tidak merestui pernikahanmu dan bahkan tidak menganggapmu dan anak-anakmu sebagai anggota keluarganya? Apakah alasannya dibenarkan syariat atau sebaliknya (tidak syar’i). kalau alasannya memang syar’i maka hendaklah kamu berdua segera bertaubat kepada Allah dan berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahanmu agar hati kedua orang tuamu terbuka dan mau merestui pernikahanmu. Akan tetapi jika alasan kedua orang tuamu membuangmu dan anak-anakmu dari anggota keluarga besarnya itu tidak syar’i, maka kami nasehatkan kepada mereka agar bertaubat kepada Allah atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya kepada anak kandungnya sendiri seperti tidak merestui pernikahannya, membuangnya dari anggota keluarganya, menyuruhnya bercerai dari suaminya dan bahkan mendoakan kehancuran bagi rumah tangga anaknya. Ketahuilah –wahai orang tua- akan bahaya dari memutus tali silaturahim apalagi dengan anak kandungmu sendiri. Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

“Tidak akan masuk surga orang yang mmemutuskan (silaturahim).” [HR. Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556 dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu anhu]

Dan sabdanya pula: “Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.” [HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud no. 4901, At-Tirmidzi no.1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah no. 4211]

Dan Rasulullah juga melarang mendoakan keburukan bagi anak karena ditakutkan doa tersebut bertepatan dengan waktu dikabulkannya doa, sehingga doa tersebut dikabulkan Allah, dan akhirnya orang tua menyesali akibat perbuatannya sendiri. Sebagaimana hadits shahih yang panjang dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma: Sesungguhnya seseorang berkata kepada untanya: “Hai (unta)! Semoga Allah melaknatmu. “Lalu Rasulullah berkata, “Siapa yang melaknat untanya?” Dia berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Turunlah dari unta tersebut, janganlah engkau menyertakan kami dengan sesuatu yang terlaknat, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian sendiri, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk anak-anak kalian, dan janganlah kalian mendoakan keburukan untuk harta kalian. Jangan sampai kalian berdoa, bertepatan dengan saat dimana permohonan kepada Allah dikabulkan, sehingga permohonan kalian pun dikabulkan”. [HR. Muslim no. 3009]

Adapun orang tuamu mensyaratkan agar kamu bercerai dari suamimu maka janganlah anda menuruti perintahnya karena syarat ini tidak dibenarkan oleh syariat, apalagi suamimu seorang muslim yang bertanggung jawab. Dan sikap ini (tidak memenuhi permintaan orang tua) pun tidak menjadikanmu sebagai anak yang durhaka, karena taat pada orang tua meskipun hukumnya fardhu ain bagi setiap anak tetapi sebatas dalam hal yang ma’ruf saja, berdasarkan sabda Rasulullah:

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

“Tiada ketaatan (kepada siapapun) dalam kemaksiatan kepada Allah sang Pencipta. Sesungguhnya (wajibnya) taat itu hanya dalam kebaikan.” [HR.Bukhari no.7252 dan Muslim no.4871].

Kemudian, kami ingin menanyakan pula kepada anda, gerangan apakah yang membuat suamimu cepat marah? Apakah karena anda tidak menunaikan hak-haknya atau memang karakter suamimu selalu marah dengan atau tanpa sebab. Jika memang sebabnya yang pertama, maka hendaknya anda memperbaiki kekuranganmu dengan menunaikan hak-haknya dan selalu mentaatinya dalam kebaikan. Tetapi jika sebabnya yang kedua, maka kami nasehatkan kepada suami anda agar berusaha semaksimal mungkin menahan amarah, mengetahui keutamaan orang yang sabar dan tahan emosi, dan mengetahui bahaya yang ditimbulkan akibat sering marah. Apalagi jika marahnya tanpa sebab. Maka ini merupakan marah yang dibenci Allah karena ia datangnya dari setan sebagaimana dikabarkan Nabi shallallahu alihi wasallam.

Kami nasehatkan pula kepada suamimu dengan sabda Nabi shallallahu alihi wasallam: “Berwasiatlah kalian yang baik kepada kaum wanita, karena mereka tercipta dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, maka kalau engkau meluruskannya berarti engkau mematahkannya, namun jika engkau membiarkannya maka dia akan selamanya bengkok, oleh karena itu berwasiatlah yang baik kepada wanita.” [HR. Bukhori 5168, Muslim : 1468 dari jalan Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu].

Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bias menyelesaikan berbagai problem rumah tanggamu dan menggapai kehidupan yang bahagia sebagaimana diidamkan oleh setiap pasangan suami istri, amiin.

(Telah dimuat di dalam Majalah Nikah Sakinah Volume 8 No.11 tanggal 15 Februari – 15 Maret 2010)

di tulis ulang dari : http://abufawaz.wordpress.com
Selengkapnya...

Rabu, 30 Maret 2011

BAGAIMANA CARA MENASEHATI PENGUASA YANG ZHALIM DI DALAM ISLAM


“Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa tentang sesuatu urusan, maka janganlah ia tampakkan nasehatnya itu kepadanya secara terang-terangan (di depan umum). Akan tetapi hendaklah ia memegang tangannya, lalu ia bersembunyi dengannya (yakni nasehati dia secara sembunyi tidak ada yang mengetahuinya kecuali engkau dan dia). Maka kalau dia menerima nasehatnya, maka itulah (yang dikehendaki). Tetapi kalau dia tidak mau menerima nasehatnya, maka sesungguhnya ia telah menunaikan kewajiban menasehatinya.”HADITS SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Ahmad (3/403-404 no.15408 dan ini lafazhnya) dan Ibnu Abi ‘Ashim di kitabnya “As Sunnah” (no.1096, 1098 & 1099) dan lain-lain.

FIKIH HADITS
Hadits yang mulia ini mengajarkan kepada kita salah satu adab dan akhlak di dalam Islam yang sangat tinggi dan mulia dalam ber-amar ma’ruf dan nahi mungkar, menasehati dan memperingati penguasa yang zhalim. Nabi yang mulia –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengajarkan kepada kita apabila kita ingin menasehati atau memperingati penguasa yang zhalim, nasehatilah secara tersembunyi. Jangalah menasehati atau memperingatinya secara terang-terangan di depan umum, di mimbar atau di majelis terbuka dengan membuka aibnya. Karena yang demikian akan menafikan maksud dan tujuan dari nasehat atau peringatan itu sendiri kepada penguasa yang zhalim. Bahkan akan menambah kezhaliman dan kemarahannya khususnya kepada orang-orang yang memperingatinya. Sebab maksud dan tujuan menasehati atau memperingati penguasa yang zhalim ialah agar dia sadar akan kezhalimannya kemudian bertaubat dan beramal shalih. Inilah maksud dari perintah Allah Tabaaraka wa Ta’ala kepada Musa dan Harun untuk berda’wah memperingati Fir’aun:

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” [QS. Thaahaa: 43-44].

Di dalam ayat yang mulia ini terdapat ibrah yang sangat besar dalam berda’wah kepada penguasa yang zhalim. Fir’aun ketika itu adalah seorang yang sangat melampaui batas, sombong bahkan mengaku dirinya sebagai tuhan. Sedangkan Musa adalah seorang Nabi yang besar dan mulia di sisi Allah bersama saudaranya Harun. Meskipun demikian Allah tetap memerintahkan kepada Musa dan Harun untuk berbicara kepada Fir’aun dengan kata-kata yang lemah lembut agar mengena dan masuk ke dalam hati Fir’aun. Yang tujuannya agar supaya Fir’aun sadar, ingat akan kezhalimannya, kemudian tunduk dan takut kepada Allah. Kalau terhadap Fir’aun, Allah telah memerintahkan kepada Musa dan Harun untuk berbicara dengan kata-kata yang lemah lembut, maka tentunya penguasa muslim yang zhalim lebih berhak mendengar kata-kata yang lemah lembut dari seorang alim yang akan menasehati dan memperingatinya.

Sekali lagi, hadits yang mulia ini bagaikan petir yang menyambar kaum harakah islamiyyah yang telah menghalalkan dan menyukai bahkan hampir-hampir mereka mewajibkan berdemontrasi, berorasi dan unjuk rasa kepada penguasa. Walaupun mereka menamakannya demontrasi tertib dan islamiy!!!

“Sampai disitulah ilmu mereka!”. [QS.an-Najm:30]

Sumber: Disalin ulang dari buku Al Masail jilid 4, al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat –hafizhahullah-, Masalah ke 91, Penerbit Darussunnah, Cet.2, Hal.220-222.
Selengkapnya...

SIAPAKAH PEMERINTAHAN YANG BODOH?


Dari Jabir bin Abdillah (ia berkata): Sesungguhnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda kepada Ka’ab bin ‘Ujrah:

“Ya Ka’ab bin ‘Ujrah! Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan yang bodoh!”.

Ka’ab bin ‘Ujrah bertanya: “Kenapa demikian ya Rasulullah, dan siapakah pemerintahan yang bodoh itu?”.
Beliau menjawab: “Para umarah (penguasa) yang akan datang nanti sesudahku, mereka tidak mengikuti petunjukku dan tidak mengamalkan Sunnahku. Maka barang siapa yang membenarkan kebohongan mereka dan menolong ke zhaliman mereka, maka mereka itu bukan dariku dan aku bukan dari mereka [1], dan mereka tidak akan dibawa ke telagaku (pada hari kiamat). Akan tetapi barang siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak menolong ke zhaliman mereka, maka mereka itu dariku dan aku dari mereka [2], dan mereka akan dibawa ke telagaku (pada hari kiamat).Ya Ka’ab bin ‘Ujrah! Puasa itu sebagai perisai, dan shadaqah itu sebagai penghapus dosa, sedangkan shalat itu sebagai cara untuk mendekatkan diri (kepada Allah) -atau beliau bersabda: Shalat itu sebagai bukti (bahwa dia seorang muslim)-

Ya Ka’ab bin ‘Ujrah! Sesungguhnya tidak akan masuk sorga daging yang tumbuh dari hasil yang haram, maka nerakalah yang lebih berhak dengannya (memakannya).

Ya Ka’ab bin ‘Ujrah! Manusia (setiap hari) berangkat di waktu pagi terbagi menjadi dua golongan: Yang membeli dirinya, kemudian dia memerdekakannya (dari api neraka). (Dan) Yang menjual dirinya, kemudian dia membinasakannya (memasukkan dirinya ke dalam api neraka)”.

HADITS SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Ahmad (3/321 & 399 dan ini lafazhnya), Daarimiy (2/318 dengan sangat ringkas) dan Ibnu Hibban (no. 1569 –mawaarid-).

Hadits ini shahih atas syarat Muslim sebagaimana telah saya luaskan takhrijnya di Riyaadhul Jannah (no:511). Dan Hadits ini pun telah mempunyai syawaahid (penguat atau pembantunya) dari jama’ah para sahabat dan keluasan takhrijnya ada di Riyaadul Jannah (no:757 s/d 761).

SEBAGIAN DARI FAEDAH HADITS

As sufahaa’ bentuk jama’ dari safiih yang artinya sebagaimana di tafsirkan oleh Al Hafizh Ibnu Katsir:
”Sufahaa’ bentuk jama’ dari safiih, sedangkan safiih artinya: Orang yang jahil (bodoh), yang dha`if (lemah) akalnya, yang sedikit sekali pengetahuannya tentang mana yang maslahat dan mana yang mudharat”. [3]

Hadits yang mulia ini merupakan hadits yang sangat besar dan agung sekali, yang menjadi salah satu tanda dari tanda-tanda kenabian beliau -shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Bahwa apa yang beliau -shalallahu ‘alaihi wa sallam- kabarkan akan terjadi, pasti terjadi tidak dapat tidak, karena ini merupakan wahyu dari Rabbul ‘alamin sebagaimana firman-Nya:

”Dan dia tidak berbicara dengan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain melainkan wahyu yang di wahyukan (kepadanya)”. (Surat An-Najm:3 dan 4).

”(Allah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya…”. (Surat Jin:26 & 27).

Kita saksikan -dengan sangat menyesal dan menyedihkan- sebagian besar negeri-negeri Islam pemerintahannya adalah pemerintahan sufahaa’. Yaitu satu pemerintahan yang di pimpin oleh para penguasa yang tidak mengikuti petunjuk (hidayah) Nabi yang mulia -shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Padahal sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau -shalallahu ‘alaihi wa sallam-.

Yaitu pemerintah yang tidak mengamalkan dan berjalan di atas Sunnah beliau -shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Padahal tidak akan tersesat selamanya orang yang berpegang dengan Al Kitab dan Sunnah Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam-.

Oleh karena itu pemerintahan mereka adalah pemerintahan yang bodoh, miskin, terhina, lebih banyak mudharatnya dari maslahatnya. Bahkan hampir-hampir tidak ada maslahatnya kalau dinisbahkan dengan mudharatnya.

Inilah balasan -dan balasan sesuai dengan jenis amalnya- bagi setiap pemerintahan yang berpaling dari petunjuk dan Sunnah Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam-.

Sebaliknya,pemerintahan yang mengikuti petunjuk dan Sunnah Nabi yang mulia - shalallahu ‘alaihi wa sallam- adalah sebuah pemerintahan yang berilmu, kaya, kuat, penuh dengan kemaslahatan dan sedikit sekali mudharatnya. Bisa dikatakan hampir-hampir tidak ada mudharatnya kalau dinisbahkan dengan maslahatnya.

Hadits yang mulia ini bagaikan petir yang menyambar kaum Harakah Islamiyyah yang telah menceburkan diri mereka di dalam kubangan pemerintah sufahaa’ yang membuat mereka lebih sufahaa’ dari pemerintahan sufahaa’.

Semoga Allah melindungi kita dari pemerintahan sufahaa’. Allahumma amin!

Foot Note:

[1] Yakni, mereka bukanlah orang-orang yang mengikuti Sunnahku dalam masalah ini.

[2] Yakni, merekalah orang-orang yang mengikuti Sunnahku.

[3] Tafsir Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat 13 surat al-Baqarah

Sumber: Disalin ulang dari buku Al Masail jilid 4, al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat –hafizhahullah-, Masalah ke 90, Penerbit Darussunnah, Cet.2, Hal.214-218.
Selengkapnya...

Kamis, 24 Maret 2011

Wasiat-wasiat Generasi Salaf


Oleh : Ust. Abu Ihsan Al Atsary

Allah Ta`ala berfirman dalam kitab-Nya:

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga, di bawahnya banyak sungai mengalir; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-taubah : 100)


Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta`ala memberi pujian kepada para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Merekalah generasi terbaik yang dipilih oleh Allah sebagai pendamping nabi-Nya dalam mengemban risalah ilahi.

Pujian Allah tersebut, sudah cukup sebagai bukti keutamaan atau kelebihan mereka. Merekalah generasi salaf yang disebut sebagai generasi Rabbani yang selalu mengikuti jejak langkah Rasulullah Shallallahu `alaihiwa sallam.

Dengan menapak tilasi jejak merekalah, generasi akhir umat ini akan bisa meraih kembali masa keemasannya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah, Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang membuat generasi awalnya menjadi baik. Sungguh sebuah ucapan yang pantas ditulis dengan tinta emas. Jikalau umat ini mengambil generasi terbaik itu sebagai teladan dalam segala aspek kehidupan niscaya kebahagiaan akan menyongsong mereka.

Dalam kesempatan kali ini, kami akan mengupas bagaimana para salaf menyucikan jiwa mereka, yang kami nukil dari petikan kata-kata mutiara dan hikmah yang sangat berguna bagi kita.Salaf dan Tazkiyatun Nufus

Salah satu sisi ajaran agama yang tidak boleh terlupakan adalah tazkiyatun nufus (penyucian jiwa). Allah selalu menyebutan tazkiyatun nufus bersama dengan ilmu. Allah berfirman:

Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah : 151)

Artinya, ilmu itu bisa jadi bumerang bila tidak disertai dengan tazkiyatun nufus. Oleh sebab itu dapat kita temui dalam biografi ulama salaf tentang kezuhudan, keikhlasan, ketawadhu`an dan kebersihan jiwa mereka. Begitulah, mereka selalu saling mengingatkan tentang urgensi tazkiyatun nufus ini. Dari situ kita dapati ucapan-ucapan ulama salaf sangat menghunjam ke dalam hati dan penuh dengan hikmah. Hamdun bin Ahmad pernah ditanya: Mengapa ucapan-ucapan para salaf lebih bermanfaat daripada ucapan-ucapan kita? beliau menjawab: Karena mereka berbicara untuk kemuliaan Islam, keselamatan jiwa dan mencari ridha Ar-Rahman, sementara kita berbicara untuk kemuliaan diri, mengejar dunia dan mencari ridha manusia!

Salaf dan Kegigihan Dalam Menuntut Ilmu

Imam Adz-Dzahabi berkata: Ya`qub bin Ishaq Al-Harawi menceritakan dari Shalih bin Muhammad Al-Hafizh, bahwa ia mendengar Hisyam bin Ammar berkata: Saya datang menemui Imam Malik, lalu saya katakan kepadanya: Sampaikanlah kepadaku beberapa hadits! Beliau berkata: Bacalah!
Tidak, namun tuanlah yang membacakannya kepadaku! jawabku.
Bacalah! kata Imam Malik lagi. Namun aku terus menyanggah beliau. Akhirnya ia berkata: Hai pelayan, kemarilah! Bawalah orang ini dan pukul dia lima belas kali! Lalu pelayan itu membawaku dan memukulku lima belas cambukan. Kemudian ia membawaku kembali kepada beliau. Pelayan itu berkata: Saya telah mencambuknya! Maka aku berkata kepada beliau: Mengapa tuan menzhalimi diriku? tuan telah mencambukku lima belas kali tanpa ada kesalahan yang kuperbuat? Aku tidak sudi memaafkan tuan!
Apa tebusannya? tanya beliau.
Tebusannya adalah tuan harus membacakan untukku sebanyak lima belas hadits! jawabku. Maka beliaupun membacakan lima belas hadits untukku. Lalu kukatakan kepada beliau: Tuan boleh memukul saya lagi, asalkan tuan menambah hadits untukku! Imam Malik hanya tertawa dan berkata: Pergilah!

Salaf dan Keikhlasan

Generasi salaf adalah generasi yang sangat menjaga aktifitas hati. Seorang lelaki pernah bertanya kepada Tamim Ad-Daari tentang shalat malam beliau. Dengan marah ia berkata: Demi Allah satu rakaat yang kukerjakan di tengah malam secara tersembunyi, lebih kusukai daripada shalat semalam suntuk kemudian pagi harinya kuceritakan kepada orang-orang!

Ar-Rabi` bin Khaitsam berkata: Seluruh perbuatan yang tidak diniatkan mencari ridha Allah, maka perbuatan itu akan rusak!

Mereka tahu bahwa hanya dengan keikhlasan, manusia akan mengikuti, mendengarkan dan mencintai mereka. Imam Mujahid pernah berkata: Apabila seorang hamba menghadapkan hatinya kepada Allah, maka Allah akan menghadapkan hati manusia kepadanya.

Memang diakui, menjaga amalan hati sangat berat karena diri seakan-akan tidak mendapat bagian apapun darinya. Sahal bin Abdullah berkata: Tidak ada satu perkara yang lebih berat atas jiwa daripada niat ikhlas, karena ia (seakan-akan -red.) tidak mendapat bagian apapun darinya.

Sehingga Abu Sulaiman Ad-darani berkata: Beruntunglah bagi orang yang mengayunkan kaki selangkah, dia tidak mengharapkan kecuali mengharap ridha Allah!

Mereka juga sangat menjauhkan diri dari sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasan, seperti gila popularitas, gila kedudukan, suka dipuji dan diangkat-angkat.

Ayyub As-Sikhtiyaani berkata: Seorang hamba tidak dikatakan berlaku jujur jika ia masih suka popularitas. Yahya bin Muadz berkata: Tidak akan beruntung orang yang memiliki sifat gila kedudukan. Abu Utsman Sa`id bin Al-Haddad berkata: Tidak ada perkara yang memalingkan seseorang dari Allah melebihi gila pujian dan gila sanjungan.

Oleh karena itulah ulama salaf sangat mewasiatkan keikhlasan niat kepada murid-muridnya. Ar-Rabi` bin Shabih menuturkan: Suatu ketika, kami hadir dalam majelis Al-Hasan Al-Bashri, kala itu beliau tengah memberi wejangan. Tiba-tiba salah seorang hadirin menangis tersedu-sedu. Al-Hasan berkata kepadanya: Demi Allah, pada Hari Kiamat Allah akan menanyakan apa tujuan anda menangis pada saat ini!

Salaf dan Taubat

Setiap Bani Adam pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang segera bertaubat kepada Allah. Demikianlah yang disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits shahih. Generasi salaf adalah orang yang terdepan dalam masalah ini!

`Aisyah berkata: Beruntunglah bagi orang yang buku catatan amalnya banyak diisi dengan istighfar. Al-Hasan Al-Bashri pernah berpesan: Perbanyaklah istighfar di rumah kalian, di depan hidangan kalian, di jalan, di pasar dan dalam majelis-majelis kalian dan dimana saja kalian berada! Karena kalian tidak tahu kapan turunnya ampunan!

Tangis Generasi Salaf

Generasi salaf adalah generasi yang memiliki hati yang amat lembut. Sehingga hati mereka mudah tergugah dan menangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Terlebih tatkala membaca ayat-ayat suci Al-Qur`an.

Ketika membaca firman Allah: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu (QS. Al-Ahzab : 33) `Aisyah menangis tersedu-sedu hingga basahlah pakaiannya.

Demikian pula Ibnu Umar , ketika membaca ayat yang artinya: Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). (QS. Al-Hadid:16) Beliau menangis hingga tiada kuasa menahan tangisnya.

Ketika beliau membaca surat Al-Muthaffifin setelah sampai pada ayat yang artinya: Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam. (QS. Al-Muthaffifiin : 5-6) Beliau menangis dan bertambah keras tangis beliau sehingga tidak mampu meneruskan bacaannya.

Salaf dan Tawadhu`

Pernah disebut-sebut tentang tawadhu` di hadapan Al-Hasan Al-Bashri, namun beliau diam saja. Ketika orang-orang mendesaknya berbicara ia berkata kepada mereka: saya lihat kalian banyak bercerita tentang tawadhu`! Mereka berkata: Apa itu tawadhu` wahai Abu Sa`id? Beliau menjawab: Yaitu setiap kali ia keluar rumah dan bertemu seorang muslim ia selalu menyangka bahwa orang itu lebih baik daripada dirinya.

Ibnul Mubarak pernah ditanya tentang sebuah masalah di hadapan Sufyan bin Uyainah, ia berkata: Kami dilarang berbicara di hadapan orang-orang yang lebih senior dari kami.

Al-Fudhail bin Iyadh pernah ditanya: Apa itu tawadhu`? Ia menjawab: Yaitu engkau tunduk kepada kebenaran!

Mutharrif bin Abdillah berkata: Tidak ada seorangpun yang memujiku kecuali diriku merasa semakin kecil.

Salaf dan Sifat Santun

Pada suatu malam yang gelap Umar bin Abdul Aziz memasuki masjid. Ia melewati seorang lelaki yang tengah tidur nyenyak. Lelaki itu terbangun dan berkata: Apakah engkau gila! Umar menjawab: Tidak Namun para pengawal berusaha meringkus lelaki itu. Namun Umar bin Abdul Aziz mencegah mereka seraya berkata: Dia hanya bertanya: Apakah engkau gila! dan saya jawab: Tidak.

Seorang lelaki melapor kepada Wahab bin Munabbih: Sesungguhnya Fulan telah mencaci engkau! Ia menjawab: Kelihatannya setan tidak menemukan kurir selain engkau!

Salaf dan Sifat Zuhud

Yusuf bin Asbath pernah mendengar Sufyan Ats-Tsauri berkata: Aku tidak pernah melihat kezuhudan yang lebih sulit daripada kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita banyak menemui orang-orang yang zuhud dalam masalah makanan, minuman, harta dan pakaian. Namun ketika diberikan kekuasaan kepadanya maka iapun akan mempertahankan dan berani bermusuhan demi membelanya.

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seribu dinar apakah termasuk zuhud? Beliau menjawab: Bisa saja, asalkan ia tidak terlalu gembira bila bertambah dan tidak terlalu bersedih jika berkurang.

Demikianlah beberapa petikan mutiara salaf yang insya Allah berguna bagi kita dalam menuju proses penyucian jiwa. Semoga Allah senantiasa memberi kita kekuatan dalam meniti jejak generasi salaf dalam setiap aspek kehidupan.

(ditulis ulang dari Majalah As Sunnah Edisi 04/VI/1423H)

Sumber : salafyoon.net
Selengkapnya...

Selasa, 08 Maret 2011

Keutamaan Tauhid


Tauhid adalah tujuan diciptakannya alam semesta. Tauhid adalah ajaran keselamatan yang dibawa oleh para nabi. Tak seorang nabi pun melainkan menyeru umatnya kepada tauhid.

Tauhid merupakan kewajiban pertama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada umat manusia, dan sebaliknya larangan pertama yang Allah larang kepada mereka adalah syirik. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Hai manusia beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dan Dia yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan sebab itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah : 21-22)Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82).

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan: “Ketika ayat ini turun, hal itu cukup memberatkan kaum muslimin. Mereka mengatakan, ‘Adakah di antara kita yang tidak berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri?’ Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘Bukan demikian yang dimaksud, tetapi maksudnya adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar ucapan Luqman kepada putranya, “Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan Allah adalah kezhaliman yang besar.” (Muttafaq ‘alaih).

Ayat ini memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang bertauhid yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kemusyrikan, bahkan mereka justru menjauhinya, maka mereka mendapatkan rasa aman yang sempurna dari adzab Allah di akhirat. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk di dunia.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

“Iman itu ada lebih dari 60 cabang: yang tertinggi ialah pernyataan laa ilaaha illallaah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari tengah jalan.” (HR. Muslim).

Disebutkan dalam buku Dalilul Muslim fil I`tiqad wat Tathhir karya Fadhilatusy Syaikh Abdullah al-Khayyath sebagai berikut di bawah judul: Tauhid Menyebabkan Kebahagiaan dan Menghapuskan dosa-dosa:

Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, seseorang terkadang kakinya tergelincir dan jatuh dalam kemaksiatan. Jika ia termasuk ahli tauhid yang murni dari segala noda syirik, maka tauhidnya dan keikhlasannya dalam menyatakan la ilaha illallah akan menjadi faktor terbesar untuk kebahagiaannya, menghapuskan dosa-dosanya dan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam:

“Barangsiapa bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagiNya dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya; serta bahwa Isa adalah hamba Allah, utusanNya, kalimatNya yang sampaikan kepada Maryam dan ruh dariNya, surga itu hak, dan neraka itu hak, maka Allah memasukkannya ke dalam surga atas amal yang telah dilakukannya.“

Yakni sejumlah persaksian ini, yang dipersaksikan oleh setiap muslim lewat prinsip-prinsip ini, menyebabkan dirinya masuk ke dalam surga, negeri kenikmatan, meskipun pada sebagian amalnya terdapat kesalahan dan kelalaian. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‘Wahai anak Adam, sekiranya kamu datang kepadaKu dengan membawa dosa hampir sepenuh bumi, kemudian kamu berjumpa kepadaKu dengan tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu pun, niscaya aku mem­berikan ampunan kepadamu hampir sepenuh bumi pula.” (Hasan, riwayat at-Tirmidzi dan adh-Dhiya’).

Artinya, seandainya kamu datang kepadaKu dengan membawa dosa dan kemaksiatan hampir sepenuh bumi, asal kamu mati dalam keadaan bertauhid, niscaya Aku mengampuni dosa-dosamu.

Disebutkan dalam hadits:

“Barangsiapa yang berjumpa Allah dengan tanpa mempersekutukanNya dengan sesuatu apa pun, niscaya ia masuk surga. Dan barangsiapa yang berjumpa Allah dengan mempersekutukannya pada sesuatu pun, niscaya ia masuk neraka.” (HR. Muslim).

Semua hadits ini memperjelas keutamaan tauhid, dan bahwa tauhid adalah faktor terbesar kebahagiaan seorang hamba, serta sarana terbesar untuk menghapuskan dosa-dosanya dan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Tauhid merupakan tugas dan tanggung jawab setiap individu muslim selama hayat di kandung badan. Dia mengawali hidupnya dengan tauhid, dan meninggalkan alam dunia ini juga harus dengan tauhid. Demikian pula kewajibannya seumur hidup adalah menegakkan nilai-nilai tauhid, mendakwahkannya. Dan hanya tauhidlah yang bisa menyatukan kaum muslimin.

Tauhid akan membebaskan manusia dari peribadahan kepada selain Allah. Karena segala sesuatu selain Allah tidak menciptakan ataupun menguasai kemanfaatan dan kemudharatan. Sehingga ia tidak layak untuk diibadahi. Maka dengan tauhid seorang manusia akan hanya tunduk beribadah kepada Rabb yang menciptakan dirinya.

Tauhid akan membentuk kepribadian yang unggul dan diperhitungkan. Karena dengan tauhid maka seorang manusia hanya memiliki satu sesembahan yang menjadi tujuan ibadah dan ketundukannya, baik ketika bersendirian ataupun bersama keramaian. Dia akan senantiasa berdoa kepada Allah di waktu lapang ataupun di waktu sempit. Berbeda dengan kondisi hati kaum musyrikin yang tercerai-berai demi mengabdi kepada sesembahan-sesembahan mereka. Hati mereka berserakan sebagaimana sesembahan mereka beraneka ragam. Seorang mukmin akan bisa merasakan ketenangan dan keteguhan karena hanya mengabdi kepada satu sesembahan yang benar. Adapun orang-orang musyrik, mereka harus menyeret hatinya kesana kemari menuruti kemauan sesembahan mereka yang beraneka ragam.

Tauhid merupakan sumber keamanan bagi umat manusia. Karena orang yang bertauhid hanya akan merasa takut kepada siksaan Allah, sehingga dia tidak akan merasa takut kepada selain Allah. Dia tidak dicekam oleh rasa takut gara-gara masalah rezeki, keselamatan jiwa, ataupun sanak familinya. Adapun seorang muwahhid hanya menyimpan rasa takut kepada Allah. Sehingga dialah orang yang bisa merasa aman ketika orang lain dicekam oleh ketakutan.

Tauhid merupakan sumber kekuatan diri. Karena dengan tauhid akan melahirkan kekuatan pada diri manusia yang muncul karena rasa harapnya kepada Allah, tawakal kepada-Nya, ridha dengan takdir-Nya dan sabar dalam menghadapi musibah yang menimpanya, serta tidak bergantung kepada makhluk-Nya. Maka seorang muwahhid memiliki hati yang kokoh laksana gunung. Kalau musibah menimpa dirinya maka dia meminta kepada Allah untuk menyingkapkan darinya. Sehingga tidaklah ia meminta kepada orang-orang yang sudah mati.

Tauhid merupakan asas persaudaraan yang hakiki dan persamaan. Karena ajaran tauhid tidak mengizinkan bagi siapapun untuk mengangkat sebagian makhluk untuk menjadi sesembahan tandingan selain-Nya. Maka uluhiyah adalah hak Allah semata dan sudah menjadi kewajiban bagi seluruh manusia untuk tunduk beribadah hanya kepada-Nya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan dan panutan bagi segenap umat manusia dalam menjalankan kewajiban yang agung ini.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Dikutip dari buku “Meniti dan Meneladani Golongan yang Selamat”

Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Penerbit : Pustaka At-Tibyan
Artikel : an-naba.com
Selengkapnya...

Kamis, 03 Maret 2011

SEORANG AYAH BERTAUBAT DENGAN SEBAB ANAKNYA YANG MASIH BERUSIA 7 TAHUN


Satu lagi, kisah nyata di zaman ini. Seorang penduduk Madinah berusia 37 tahun, telah menikah, dan mempunyai beberapa orang anak. Ia termasuk orang yang suka lalai, dan sering berbuat dosa besar, jarang menjalankan shalat, kecuali sewaktu-waktu saja, atau karena tidak enak dilihat orang lain.

Penyebabnya, tidak lain karena ia bergaul akrab dengan orang-orang jahat dan para dukun. Tanpa ia sadari, syetan setia menemaninya dalam banyak kesempatan.

Ia bercerita mengisahkan tentang riwayat hidupnya:

“Saya memiliki anak laki-laki berusia 7 tahun, bernama Marwan. Ia bisu dan tuli. Ia dididik ibunya, perempuan shalihah dan kuat imannya.Suatu hari setelah adzan maghrib saya berada di rumah bersama anak saya, Marwan. Saat saya sedang merencanakan di mana berkumpul bersama teman-teman nanti malam, tiba-tiba, saya dikejutkan oleh anak saya. Marwan mengajak saya bicara dengan bahasa isyarat yang artinya, ”Mengapa engkau tidak shalat wahai Abi?”

Kemudian ia menunjukkan tangannya ke atas, artinya ia mengatakan bahwa Allah yang di langit melihatmu.

Terkadang, anak saya melihat saya sedang berbuat dosa, maka saya kagum kepadanya yang menakut-nakuti saya dengan ancaman Allah.

Anak saya lalu menangis di depan saya, maka saya berusaha untuk merangkulnya, tapi ia lari dariku.

Tak berapa lama, ia pergi ke kamar mandi untuk berwudhu, meskipun belum sempurna wudhunya, tapi ia belajar dari ibunya yang juga hafal Al-Qur’an. Ia selalu menasihati saya tapi belum juga membawa faidah.

Kemudian Marwan yang bisu dan tuli itu masuk lagi menemui saya dan memberi isyarat agar saya menunggu sebentar… lalu ia shalat maghrib di hadapan saya.

Setelah selesai, ia bangkit dan mengambil mushaf Al-Qur’an, membukanya dengan cepat, dan menunjukkan jarinya ke sebuah ayat (yang artinya):

”Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Allah Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaithan” (Maryam: 45)

Kemudian, ia menangis dengan kerasnya. Saya pun ikut menangis bersamanya. Anak saya ini yang mengusap air mata saya.

Kemudian ia mencium kepala dan tangan saya, setalah itu berbicara kepadaku dengan bahasa isyarat yang artinya, ”Shalatlah wahai ayahku sebelum ayah ditanam dalam kubur dan sebelum datangnya adzab!”

Demi Allah, saat itu saya merasakan suatu ketakutan yang luar biasa. Segera saya nyalakan semua lampu rumah. Anak saya Marwan mengikutiku dari ruangan satu ke ruangan lain sambil memperhatikan saya dengan aneh.

Kemudian, ia berkata kepadaku (dengan bahasa isyarat), ”Tinggalkan urusan lampu, mari kita ke Masjid Besar (Masjid Nabawi).”

Saya katakan kepadanya, ”Biar kita ke masjid dekat rumah saja.”

Tetapi anak saya bersikeras meminta saya mengantarkannya ke Masjid Nabawi.

Akhirnya, saya mengalah kami berangkat ke Masjid Nabawi dalam keadaan takut… Dan Marwan selalu memandang saya.

Kami masuk menuju Raudhah. Saat itu Raudhah penuh dengan manusia, tidak lama datang waktu iqamat untuk shalat isya’, saat itu imam masjid membaca firman Allah (yang artinya),

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan munkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (An-Nuur: 21)

Saya tidak kuat menahan tangis. Marwan yang berada disampingku melihat aku menangis, ia ikut menangis pula. Saat shalat ia mengeluarkan tissue dari sakuku dan mengusap air mataku dengannya.

Selesai shalat, aku masih menangis dan ia terus mengusap air mataku. Sejam lamanya aku duduk, sampai anakku mengatakan kepadaku dengan bahasa isyarat, ”Sudahlah wahai Abi!”

Rupanya ia cemas karena kerasnya tangisanku. Saya katakan, ”Kamu jangan cemas.”

Akhirnya, kami pulang ke rumah. Malam itu begitu istimewa, karena aku merasa baru terlahir kembali ke dunia.

Istri dan anak-anakku menemui kami. Mereka juga menangis, padahal mereka tidak tahu apa yang terjadi.

Marwan berkata tadi Abi pergi shalat di Masjid Nabawi. Istriku senang mendapat berita tersebut dari Marwan yang merupakan buah dari didikannya yang baik.

Saya ceritakan kepadanya apa yang terjadi antara saya dengan Marwan. Saya katakan, “Saya bertanya kepadamu dengan menyebut nama Allah, apakah kamu yang mengajarkannya untuk membuka mushaf Al-Qur’an dan menunjukkannya kepada saya?”

Dia bersumpah dengan nama Allah sebanyak tiga kali bahwa ia tidak mengajarinya. Kemudian ia berkata, “Bersyukurlah kepada Allah atas hidayah ini.”

Malam itu adalah malam yang terindah dalam hidup saya. Sekarang -alhamdulillah- saya selalu shalat berjamaah di masjid dan telah meninggalkan teman-teman yang buruk semuanya. Saya merasakan manisnya iman dan merasakan kebahagiaan dalam hidup, suasana dalam rumah tangga harmonis penuh dengan cinta, dan kasih sayang.

Khususnya kepada Marwan saya sangat cinta kepadanya karena telah berjasa menjadi penyebab saya mendapatkan hidayah Allah.”

( “Da’i Cilik”, Fariq Gasim Anuz, Penerbit: Darul Falah, Jakarta, Indonesia )
Selengkapnya...

Rabu, 23 Februari 2011

SEUNTAI KATA TENTANG CINTA


Cinta bagaikan gema, engkau kirimkan kepada orang-orang disekelilingmu, lalu ia kembali kepadamu.

Engkau tebarkan dilingkunganmu, ia kembali kepangkuanmu.

Apa yang engkau lihat pada orang lain engkau dapatkan pada dirimu. Mereka pun memberikan kepadamu cinta dan kasih sayang.

Engkau yang melukis jalan yang akan dilalui mereka dalam bersikap kepadamu. Jika engkau bersikap baik kepada mereka dan mencintai mereka, niscaya mereka mencintaimu.

Kalau engkau memberikan faedah untuk mereka, mereka akan memberimu faedah.

Pasti! Saling mencintai dan mengasihi itu karena dan dijalan Allah.

Dan orang yang paling pertama mendapatkan cinta dan kelembutan perasaanmu adalah orangtua, istri atau suami dan anak-anakmu.

Rasul shollalllahu ‘alaihi wa sallama bersabda,

خيركم خيركم لأهله و أنا خيركم لأهلي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik bagi keluarganya dan aku adalah yang paling baik bagi keluargaku”.[1]

Tidaklah tersesat banyak manusia dari jalan Robb mereka melainkan karena mereka lebih mengedepankan cinta kepada segala sesuatu melebihi cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikian juga sebagian orang yang tenggelam dalam lembah permusuhan, dengki dan dendam kesumat adalah karena hilangnya cinta dari hati mereka.

Cobalah rasakan hidup – walau sebentar – dengan merasakan cinta manusia kepadamu, sedikit atau pun banyak. Bukankah hari-hari itu akan menjadi hari-hari terindah dalam kehidupanmu?.[2]

Dengarkan firman Allah Ta’ala,

إن الذين أمنوا وعملوا الصالحات سيجعل لهم الرحمن ودا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh Allah yang Maha pengasih akan menjadikan untuk mereka kasih-sayang”.[3]

Maksudnya cinta di hati manusia untuk mereka!

Pernahkah engkau bertanya pada dirimu sendiri, “Bagaimana diriku dengan cinta dilangit ini?”. Bukankah engkau pernah mendengar firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsi, “Sesungguhnya aku mencintai fulan, maka cintailah ia”. Lalu malaikat menyambutnya dengan penuh cinta dan rindu, kemudian diletakkan untuk penerimaan di muka bumi yaitu dengan cinta manusia kepadanya?!

Subhanallah!!

Seseorang dicintai Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dicintai Jibril dan para malaikat yang menghuni langit. Kemudian Allah jadikan manusia mencintainya … alangkah indahnya hidup orang tersebut.

Salah seorang di antara kita selalu mencari dan mengharapkan cinta makhluk kepadanya. Dadanya akan serasa sesak dan lidahnya bagai kelu jika mereka membencinya. Dan ia akan terbang karena gembira jika mereka mencintainya.

Orang ini mencari cinta manusia kepadanya disetiap tempat dan pada setiap insane. Akan tetapi ia lupa – kadang-kadang atau bahkan sering – cinta Robb-nya insan. Ia lupa apakah ia termasuk orang-orang yang dicintai Allah atau sebaliknya?

Demi Allah, saudaraku!! Apa guna cinta seluruh makhluk kepada kita jika Robb pencinta seluruh makhluk membenci kita?!

Renungkan bagaimana Asiyah mendahulukan tetangga sebelum tempat tinggal dalam do’anya, “Robbku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah di dalam surga”.[4]

Bagaimana menurutmu, kalau dikatakan kepada orang-orang mukminin : pilihlah antara surga tidak ada padanya Robb kalian dan padang tandus kalian bersama Robb kalian. Menurutmu apa yang akan mereka pilih?

Oohh .. alangkah meruginya orang yang tidak pernah merasakan yang paling indah dan manis dalam kehidupan ini!

Tahukah engkau apa itu? Dicintai Allah dan mencintai-Nya.

Cinta Allah kepada hamba adalah puncak cita-cita orang-orang yang sholeh. Karena apabila Allah cinta kepada hamba-Nya, Dia ridho kepadanya, meridhoi amalan, perkataan dan hatinya. Kebahagiaan apalagi yang melebihi itu?

Katakana kepadaku sejujurnya: apakah ada seseorang yang tulus dan benar dalam mencintai kekasihnya lalu ia menyiksa kekasihnya? neraka apalagi yang ditakuti seorang hamba apabila ia dicintai Allah? (dan bagi Allah adalah perumpamaan yang lebih tinggi – walillahil Matsalil A’laa).

[1] Shohih Al Jami’ (3314).

[2] Kholid Al Ahmady, Al Hubb dengan beberapa penyesuaian.

[3] Maryam : 96.

[4] At-Tahrim : 11.
Sumber : Abuzubair.net
Selengkapnya...

Sabtu, 05 Februari 2011

Hati-Hati dengan Ruwaibidhah

Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunannya :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ الْجُمَحِيُّ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

Abu Bakr bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abdul Malik bin Qudamah al-Jumahi menuturkan kepada kami dari Ishaq bin Abil Farrat dari al-Maqburi dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah).

Hadits yang agung ini menerangkan kepada kita:

  1. Peringatan akan bahaya berbicara tanpa landasan ilmu. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’ : 36). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hai umat manusia, makanlah sebagian yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Sesungguhnya dia hanya akan menyuuh kalian kepada perbuatan dosa dan kekejian, dan agar kalian berkata-kata atas nama Allah dalam sesuatu yang tidak kalian ketahui ilmunya.” (QS. al-Baqarah : 168-169). Maka barangsiapa yang gemar berbicara mengatasnamakan agama tanpa ilmu, sesungguhnya dia adalah antek-antek Syaitan, bukan Hizbullah dan bukan pula pembela keadilan atau penegak Syari’at Islam!
  2. Hadits ini menunjukkan pentingnya kejujuran dan mengandung peringatan dari bahaya kedustaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas kalian untuk bersikap jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan menuntun ke surga. Apabila seseorang terus menerus bersikap jujur dan berjuang keras untuk senantiasa jujur maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai orang yang shiddiq. Dan jauhilah kedustaan, karena kedustaan itu akan menyeret kepada kefajiran, dan kefajiran akan menjerumuskan ke dalam neraka. Apabila seseorang terus menerus berdusta dan mempertahankan kedustaannya maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu).
  3. Hadits ini juga menunjukkan pentingnya menjaga amanah dan memperingatkan dari bahaya mengkhianati amanah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah datangnya hari kiamat.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?”. Maka beliau menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kiamatnya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tidak lengkap iman pada diri orang yang tidak memiliki sifat amanah.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dihasankan al-Albani dalam Takhrij Misykat al-Mashabih [35] as-Syamilah)
  4. Hadits ini menunjukkan bahwa jalan keluar ketika menghadapi situasi kacau semacam itu adalah dengan kembali kepada ilmu dan ulama. Yang dimaksud ilmu adalah al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Dan yang dimaksud ulama adalah ahli ilmu yang mengikuti perjalanan Nabi dan para sahabat dalam hal ilmu, amal, dakwah, maupun jihad.

Penulis: Abu Mushli Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id


Selengkapnya...

Sabtu, 15 Januari 2011

Pengobatan Tekanan Batin Dan Stress


Oleh

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (www.almanhaj.or.id)

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya seorang wanita muda, usia dua puluh tahunan, muslimah taat agama, bersuami sejak satu setengah tahun yang lalu, dan alhamdulillah, saya diberi anak sejak enam bulan lalu dengan kelahiran berlangsung normal, Alhamdulillah. Sekitar satu minggu setelah melahirkan, saya mengalami stress yang luar biasa. Kondisi seperti ini belum pernah saya alami sebelumnya. Tidak ada lagi kemampuan memberikan perhatian kepada apapun, juga terhadap anak. Saya telah mendatangi psikiater dan saya melakukan pengobatan hingga baru-baru ini. Pengobatan ini tidak mengembalikan saya kepada kondisi semula, sebagaimana sebelum melahirkan. Saya telah merasa hilang/mati karena lamanya masa pengobatan.

Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar kalian diberi taufiq dalam mengenal pengobatan syar'i untuk perasaan tertekan dan kesedihan jiwa ini atau pengobatan yang terbaik, agar saya bisa kembali kepada sifat saya, memperhatikan suami, anak dan mengurus rumah. Saya pernah mendengar di masa lalu sebuah hadits yang berbunyi, "Air zam-zam adalah untuk sesuatu (niat) yang diminumnya darinya" [1]. Sesungguhnya saya mengharap kepada Allah penjelasan hadits ini. Apakah sesuai atas kondisi kejiwaan saya ataukah ia hanya untuk kondisi anggota tubuh. Dan apabila air zam-zam memberi faedah dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam menyembuhkan kondisi saya ini, bagaimanakah membawanya ke tempat saya ?

Jawaban
Berpegang teguhlah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, berbaik sangkalah kepadaNya, serahkanlah perkaramu kepadaNya, janganlah anda putus asa dari rahmat, karunia dan kebaikanNya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menurunkan penyakit melainkan menurunkan juga obatnya. Anda harus mengambil segala sebab (untuk kesembuhan berobat,-pent). Teruslah berkonsultasi kepada para dokter spesialis dalam mengenal berbagai macam penyakit dan pengobatan.

Bacalah atas dirimu surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq, surah An-Nas tiga kali. Meludahlah sedikit dikedua tanganmu setiap sekali, usaplah mukamu dengan keduanya, dan bagian tubuhmu yang kamu bisa. Ulangilah terus hal itu beberapa kali siang malam dan ketika mau tidur. Bacalah pula atas dirimu surah Al-Fatihah di waktu kapan pun, siang dan malam hari. Bacalah ayat Kursi ketika berbaring di tempat kasurmu untuk tidur. Hal itu adalah ruqyah manusia untuk dirinya sendiri dan menjaganya dari kejahatan.

Berdo'alah kepada Allah dengan do'a Al-Kurab, bacalah.

"Artinya : Tiada Ilah yang berhak diibdahi selain Allah yang Mahaagung lagi Maha Penyantun. Tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah Penguasa Arsy yang besar. Tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah Rabb langit, Rabb bumi dan Rabb Arsy yang mulia".[2]

Ruqyahlah pula diri anda sendiri dengan ruqyah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka bacalah, "Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah penyakit, sembuhkanlah dia, hanya Engkau yang Maha Penyembuh, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan (dari)Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan sakit" [3]. Hingga dzikir-dzikir, ruqyah dan do'a-do'a lainnya yang disebutkan dalam kitab-kitab hadits, An-Nawawi menyebutkannya dalam kitab Riyadh Ash-Shalihin dan kitab Al-Adzkar.

Adapun yang ada sebutkan tentang air zam-zam karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Air zam-zam adalah untuk sesuatu (niat) yang diminum darinya". Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia adalah hadits hasan dan bersifat umum. Dan yang lebih shahih darinya adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang air zam-zam, "Sesungguhnya ia penuh berkah, ia adalah makanan yang mengenyangkan dan penawar sakit" [4] Diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud. Dan ini lafazh Abu Daud. Apabila anda menginginkan sedikir dari air zam-zam itu, anda bisa berpesan kepada penduduk negerimu yang berhaji agar ia membawa sedikit di saat ia kembali dari hajinya.

Semoga rahmat dan kesejahteraan Allah tercurah atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

[Fatawa Al-Ilaj bil Qur'an wa Sunnah Ar-Ruqa wa ma ya'taallaqu biha, karya Syaikh bin Baz, Ibn Utsaimin, Al-Lajnah Ad-Da'imah, hal. 25-27]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat At-Tirmidzi, kitab Al-Hajj 963 dan ia berkata 'Hasan Gharib'
[2]. Hadits Riwayat Bukhari, kitab Ad-Da'awat 6345, 6346, Muslim, kitab Adz-Dzikr wad Du'at 2730.
[3]. Hadits Riwayat Al-bukhari, kitab Ath-Thibb 5743, Muslim kitab As-Salam 2191
[4]. Hadits Riwayat Muslim, kitab Fadha'il Ash-Shahabah 2473 tanpa lafazh 'penawar sakit', ia ada di Musnad Abu Daud Ath-Thayalisi no 457

artikel : Assunnah-qatar.com

Selengkapnya...

Sembilan Faedah Surat al-Fatihah (2)

Faedah Keenam: Kewajiban untuk meminta petunjuk kepada-Nya

Hal ini terkandung dalam ayat ‘Ihdinas shirathal mustaqim’. Hidayah merupakan anugerah dari Allah ta’ala kepada hamba yang dipilih-Nya. Sedangkan hidayah itu terdiri dari dua macam; hidayah ilmu dan hidayah amal. Dan hidayah semacam itu dibutuhkan oleh manusia di setiap saat dalam perjalanan hidupnya. Setiap hamba senantiasa membutuhkan hidayah tersebut selama dia masih hidup di alam dunia ini. Oleh karena besarnya kebutuhan setiap hamba untuk memohon hidayah maka Allah pun mewajibkan mereka memintanya dalam sehari dan semalam minimal tujuh belas kali di dalam sholat.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “…Seandainya bukan karena besarnya kebutuhan dirinya untuk mendapatkan hidayah di waktu malam maupun siang niscaya Allah ta’ala tidak akan membimbingnya untuk melakukan hal itu -meminta hidayah setiap kali sholat-. Sebab seorang hamba itu sesungguhnya di setiap saat dan keadaan senantiasa memerlukan pertolongan dari Allah untuk bisa tegar mengikuti hidayah dan berpijak dengan kokoh padanya, agar terus mendapatkan pencerahan, peningkatan ilmu, dan bisa terus menerus berada di atasnya. Karena setiap hamba tidaklah menguasai kemanfaatan maupun kemudharatan bagi dirinya sendiri kecuali sebatas yang Allah kehendaki. Oleh sebab itulah maka Allah ta’ala membimbingnya untuk senantiasa meminta hidayah itu di setiap saat agar Allah mencurahkan kepadanya pertolongan, keteguhan dan tafik dari-Nya.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/39])

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad mengatakan, “Doa ini mengandung seagung-agung tuntutan seorang hamba yaitu mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus. Dengan meniti jalan itulah seseorang akan keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya serta akan menuai keberhasilan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap petunjuk ini jauh lebih besar daripada kebutuhan dirinya terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanyalah bekal untuk menjalani kehidupannya yang fana. Sedangkan petunjuk menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi. Doa ini juga mengandung permintaan untuk diberikan keteguhan di atas petunjuk yang telah diraih dan juga mengandung permintaan untuk mendapatkan tambahan petunjuk.” (Min Kunuz al-Qur’an)

Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kita ke jalan Islam. Sebab dengan Islam inilah seorang hamba akan bisa masuk ke dalam surga. Allah ta’ala berfirman mengenai kegembiraan penduduk surga,

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ

“Mereka mengatakan; ‘Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kami ke surga ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kami. Sesungguhnya rasul-rasul Rabb kami telah datang dengan membawa kebenaran.’.” (QS. al-A’raaf: 43)

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati dalam keadaan kafir maka tidak akan pernah diterima dari mereka emas sepenuh bumi walaupun hal itu mereka gunakan untuk menebus siksa, mereka itu memang layak untuk menerima siksa yang sangat menyakitkan dan tidak ada bagi mereka seorang penolongpun.” (QS. Ali Imran: 91)

Allah juga berfirman,

إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada seorang penolong.” (QS. al-Maa’idah: 72)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ

“Tidak akan masuk ke dalam surga melainkan jiwa yang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Dalam riwayat lainnya, beliau bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ

“Tidak akan masuk surga selain orang-orang yang beriman.” (HR. Muslim dari Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu)

Hidayah juga bukan yang perkara sepele, namun dia adalah anugerah Allah kepada hamba pilihan-Nya. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah lah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapakah orang yang ditakdirkan mendapatkan hidayah.” (QS. al-Qashash: 56)

al-Musayyab radhiyallahu’anhu menuturkan,

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Di saat kematian akan menghampiri Abu Thalib maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang untuk menemuinya dan ternyata di sisinya telah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata; ‘Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, sebuah kalimat yang akan aku gunakan untuk bersaksi untukmu di sisi Allah’. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah mengatakan; ‘Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci kepada agama Abdul Muthallib -bapakmu-?’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menawarkan dan mengulangi ajakannya itu, sampai akhirnya Abu Thalib mengucapkan perkataan terakhirnya kepada mereka bahwa dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan untuk mengucapkan la ilaha illallah…” (HR. Muslim)

Faedah Ketujuh: Kewajiban untuk mengikuti Rasul dan para sahabatnya

Hal itu terkandung dalam ayat ‘Shirathalladzina an’amta ‘alaihim’. Jalan orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, yaitu jalan para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada’ dan orang-orang salih. Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada’, dan orang-orang salih. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)

Allah ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia juga mengikuti selain jalan orang-orang beriman maka Kami akan membiarkan dia terlantar di atas kesesatan yang dipilihnya dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)

Allah ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lainnya dalam menghadapi masalah mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Maka para sahabat bertanya, ‘Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?’. beliau menjawab, “Barangsiapa yang menaatiku akan masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadaku dialah yang enggan.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk tetap mengikuti Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang berada di atas petunjuk dan terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan -di dalam agama-, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan -dalam agama- itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib [37])

Inilah jalan lurus itu, yaitu mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu maupun amalan. Allah ta’ala berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama -membela Islam- dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)

Faedah Kedelapan: Kewajiban untuk mengamalkan ilmu

Hal ini terkandung dalam potongan ayat ‘Ghairil maghdhubi ‘alaihim’. Orang yang dimurkai itu adalah orang yang mengetahui kebenaran tapi justru tidak mau mengamalkannya. Sebagaimana orang-orang Yahudi dan yang mengikuti mereka. Syaikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal Mustaqim) adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39). Sehingga jalan yang lurus itu menuntut seorang muslim untuk mengamalkan ilmunya.

Syaikh Abdul Muhsin mengatakan, “Petunjuk menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-orang yang memadukan ilmu dengan amal. Maka seorang hamba memohon kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah menuju jalan lurus ini yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para rasul-Nya dan wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki ilmu akan tetapi tidak mengamalkannya. Mereka itulah golongan Yahudi yang dimurkai.” (Min Kunuz al-Qur’an)

Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata,
“Hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.” (HR. Tirmidzi 2341)

Hal ini bukan berlaku bagi para ulama saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah Jum’at yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut. Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ

“al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul, hal. 18)

Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu ada dalam rangka mencapai sesuatu yang lainnya. Ilmu diibaratkan seperti sebuah pohon, sedangkan amalan adalah seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh. Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama nyala api neraka. Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,

Orang alim yang tidak mau
Mengamalkan ilmunya
Mereka akan disiksa sebelum
Disiksanya para penyembah berhala

(Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)

Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab tafsirnya ketika membahas firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan pendeta dan rahib-rahib benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil dan memalingkan manusia dari jalan Allah.” (QS. at-Taubah: 34) menukilkan ucapan Sufyan bin Uyainah yang mengatakan, “Orang-orang yang rusak di antara orang berilmu di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara para ahli ibadah di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.” (Min Kunuz al-Qur’an)

Faedah Kesembilan: Kewajiban untuk beribadah di atas ilmu

Hal ini terkandung dalam potongan ayat ‘wa lad dhaallin’. Orang-orang yang sesat itu adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah namun dengan cara yang tidak benar, sebagaimana kaum Nasrani. Allah ta’ala berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, dan minta ampunlah bagi dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19)

Ilmu merupakan landasan ucapan dan perbuatan. Oleh sebab itu Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam Kitab Shahihnya dengan judul al-’Ilmu qablal qaul wal ‘amal (Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan). Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangisapa ang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya seluruh sifat yang menyebabkan hamba dipuji oleh Allah di dalam al-Qur’an maka itu semua merupakan buah dan hasil dari ilmu. Dan seluruh celaan yang disebutkan oleh-Nya maka itu semua bersumber dari kebodohan dan akibat darinya…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 128). Beliau juga menegaskan, “Tidaklah diragukan bahwa sesungguhnya kebodohan adalah pokok seluruh kerusakan. Semua bahaya yang menimpa manusia di dunia dan di akhirat maka itu adalah akibat dari kebodohan…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 101)

Syaikh Muhammad al-Amin as-Syinqithi mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/53), “Orang-orang Yahudi dan Nasrani -meskipun sebenarnya mereka sama-sama sesat dan sama-sama dimurkai- hanya saja kemurkaan itu lebih dikhususkan kepada Yahudi -meskipun orang Nasrani juga termasuk di dalamnya- dikarenakan mereka telah mengenal kebenaran namun justru mengingkarinya, dan secara sengaja melakukan kebatilan. Karena itulah kemurkaan lebih condong dilekatkan kepada mereka. Adapun orang-orang Nasrani adalah orang yang bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, sehingga kesesatan merupakan ciri mereka yang lebih menonjol. Meskipun begitu Allah menyatakan bahwa ‘al magdhubi ‘alaihim’ adalah kaum Yahudi melalui firman-Nya ta’ala tentang mereka (yang artinya), “Maka mereka pun kembali dengan menuai kemurkaan di atas kemurkaan.” (QS. al-Baqarah: 90). Demikian pula Allah berfirman mengenai mereka (yang artinya), “Katakanlah; maukah aku kabarkan kepada kalian tentang golongan orang yang balasannya lebih jelek di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dilaknati Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. al-Ma’idah: 60). Begitu pula firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi itu sebagai sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS. al-A’raaf: 152). Sedangkan golongan ‘adh dhaalliin’ telah Allah jelaskan bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang telah tersesat, dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh mereka telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Ma’idah: 77)”

Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, Senin 9 Jumadil Ula 1430 H

Hamba yang fakir kepada Rabbnya
Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya
dan segenap kaum muslimin

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Selengkapnya...

Sembilan Faedah Surat al-Fatihah (1)

Surat al-Fatihah menyimpan banyak pelajaran berharga. Surat yang hanya terdiri dari tujuh ayat ini telah merangkum berbagai prinsip dan pedoman dalam ajaran Islam. Sebuah surat yang harus dibaca setiap kali mengerjakan sholat. Di dalam surat ini, Allah ta’ala memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Di dalamnya, Allah mengajarkan kepada mereka tugas hidup mereka di dunia. Di dalamnya, Allah mengajarkan kepada mereka untuk bergantung dan berharap kepada-Nya, cinta dan takut kepada-Nya. Di dalamnya, Allah menunjukkan kepada mereka jalan yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan. Berikut ini kami akan menyajikan petikan faedah dari surat ini dengan merujuk kepada al-Qur’an, as-Sunnah, serta keterangan para ulama salaf. Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat untuk yang menyusun maupun yang membacanya.


Faedah Pertama: Kewajiban untuk mencintai Allah

Di dalam ayat ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ terkandung al-Mahabbah/kecintaan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan, “Di dalam ayat tersebut terkandung kecintaan, sebab Allah adalah Yang memberikan nikmat. Sedangkan Dzat yang memberikan nikmat itu dicintai sesuai dengan kadar nikmat yang diberikan olehnya.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12)

Sebagaimana kita ketahui bahwa kecintaan merupakan penggerak utama ibadah kepada Allah ta’ala. Karena cintalah seorang hamba mau menundukkan diri dan menaati perintah dan larangan Allah ta’ala. Sebaliknya, karena sedikit dan lemahnya kecintaan maka ketundukan dan ketaatan seorang hamba kepada Rabbnya pun akan semakin menipis. Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Setiap pemberi kenikmatan maka dia berhak dipuji sesuai dengan kadar kenikmatan yang dia berikan. Dan hal ini melahirkan konsekuensi keharusan untuk mencintainya. Sebab jiwa-jiwa manusia tercipta dalam keadaan mencintai sosok yang berbuat baik kepadanya. Sementara Allah jalla wa ‘ala adalah Sang pemberi kebaikan, Sang pemberi kenikmatan dan pemberi keutamaan kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hati akan mencintai-Nya karena keutamaan dan kebaikan-Nya, sebuah kecintaan yang tak tertandingi dengan kecintaan mana pun. Oleh karena itu, kecintaan merupakan jenis ibadah yang paling agung. Maka alhamdulillahi Rabbil ‘alamin mengandung -ajaran- kecintaan.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12)

Allah ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Di antara manusia, ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai sesembahan tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman lebih dalam kecintaannya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang mencintai selain Allah sebagaimana kecintaannya kepada Allah ta’ala maka dia tergolong orang yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Ini merupakan persekutuan dalam hal kecintaan, bukan dalam hal penciptaan maupun rububiyah, sebab tidak ada seorang pun di antara penduduk dunia ini yang menetapkan sekutu dalam hal rububiyah ini, berbeda dengan sekutu dalam hal kecintaan, maka sebenarnya mayoritas penduduk dunia ini telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu dalam hal cinta dan pengagungan.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 20)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Ada tiga perkara, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan mendapatkan manisnya iman. Yaitu apabila Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripa selain keduanya. Apabila dia mencintai orang tidak lain karena kecintaannya kepada Allah. Dan dia membenci kembali ke dalam kekafiran sebagaimana orang yang tidak senang untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)

Oleh sebab itu jalinan kecintaan karena selain Allah akan musnah, sedangkan kecintaan yang dibangun di atas ketaatan dan kecintaan kepada-Nya akan tetap kekal hingga hari kemudian. Allah ta’ala berfirman,

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

“Pada hari itu orang-orang yang saling berkasih sayang akan saling memusuhi satu dengan yang lainnya, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf: 67)

Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Tidak tersisa selain kecintaan sesama orang-orang yang bertakwa, karena ia dibangun di atas landasan yang benar, ia akan tetap kekal di dunia dan di akhirat. Adapun kecintaan antara orang-orang kafir dan musyrik, maka ia akan terputus dan berubah menjadi permusuhan.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 15)

Allah ta’ala berfirman,

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَا لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا

“Dan ingatlah pada hari kiamat itu nanti orang yang gemar melakukan kezaliman akan menggigit kedua tangannya dan mengatakan, ‘Aduhai alangkah baik seandainya dahulu aku mengambil jalan mengikuti rasul itu. Aduhai sungguh celaka diriku, andai saja dulu aku tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman dekatku. Sungguh dia telah menyesatkanku dari peringatan itu (al-Qur’an) setelah peringatan itu datang kepadaku.’ Dan memang syaitan itu tidak mau memberikan pertolongan kepada manusia.” (QS. al-Furqan: 27-29)

Faedah Kedua: Kewajiban untuk berharap kepada Allah

Di dalam ayat ‘ar-Rahman ar-Rahim’ terkandung roja’/harapan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Di dalam ayat tersebut terkandung roja’.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18). Harapan merupakan energi yang akan memacu seorang insan. Dengan masih adanya harapan di dalam dirinya, maka ia akan bergerak dan melangkah, berjuang dan berkorban. Dia akan berdoa dan terus berdoa kepada Rabbnya. Demikianlah karakter hamba-hamba pilihan. Allah ta’ala berfirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Mereka itu -sosok orang salih yang disembah oleh orang musyrik- justru mencari jalan untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah; siapakah di antara mereka yang lebih dekat dengan-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu harus senantiasa ditakuti.” (QS. al-Israa’: 57)

Allah ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Rabb kalian berfirman; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku maka mereka akan masuk ke dalam Neraka dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلَا يَقُلْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ وَلَكِنْ لِيَعْزِمْ الْمَسْأَلَةَ وَلْيُعَظِّمْ الرَّغْبَةَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian berdoa maka janganlah dia mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Kamu mau’ tetapi hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam memintanya dan memperbesar harapan, sebab Allah tidak merasa berat terhadap apa pun yang akan diberikan oleh-Nya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَسْأَلْ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْه

“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dihasankan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi [3373])

Harapan bukanlah angan-angan kosong, namun ia merupakan perbuatan hati yang mendorong pemiliknya untuk berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mencapai keinginannya. Karena harapan itulah maka dia tetap tegar di atas keimanan, rela untuk meninggalkan apa yang disukainya demi mendapatkan keridhaan Allah, dan dia akan rela mengerahkan segala daya dan kekuatannya di jalan Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 218)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya harapan yang terpuji tidaklah ada kecuali bagi orang yang beramal dengan ketaatan kepada Allah dan mengharapkan pahala atasnya, atau orang yang bertaubat dari kemaksiatannya dan mengharapkan taubatnya diterima. Adapun harapan semata yang tidak diiringi dengan amalan, maka itu adalah ghurur/ketertipuan dan angan-angan yang tercela.” (Syarh Tsalatsat Ushul, hal. 58)

Faedah Ketiga: Kewajiban untuk takut kepada Allah

Di dalam ayat ‘Maaliki yaumid diin’ terkandung ajaran untuk merasa takut kepada hukuman Allah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung khauf/rasa takut.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18). Dengan adanya rasa takut inilah, seorang hamba akan menahan diri dari melanggar aturan-aturan Allah ta’ala. Dengan adanya rasa takut inilah, seorang hamba akan rela meninggalkan sesuatu yang disukainya karena takut terjerumus dalam larangan dan kemurkaan-Nya. Sebab pada hari kiamat nanti manusia akan mendapatkan balasan atas amal-amalnya di dunia. Barangsiapa yang amalnya baik, maka baik pula balasannya Dan barangsiapa yang amalnya buruk, maka buruk pula balasannya.

Allah ta’ala berfirman,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“Adapun orang yang merasa takut kepada kedudukan Rabbnya dan menahan diri dari memperturutkan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggalnya.” (QS. an-Nazi’at: 40-41)

Di hari kiamat nanti, semua orang akan tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada seorang pun yang berani dan mampu untuk menentang titah-Nya. Ketika itu langit dan bumi akan dilipat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ

“Allah ‘azza wa jalla akan melipat langit pada hari kiamat nanti kemudian Allah akan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah berfirman; ‘Akulah Sang raja, di manakah orang-orang yang bengis, di manakah orang-orang yang suka menyombongkan dirinya.’ Kemudian Allah melipat bumi dengan tangan kirinya, kemudian Allah berfirman; ‘Aku lah Sang Raja, di manakah orang-orang yang bengis, di manakah orang-orang yang suka menyombongkan diri.’.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma).

Di hari kiamat nanti, harta dan keturunan tidak ada gunanya, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Allah ta’ala berfirman,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ لِلْغَاوِينَ

“Pada hari itu tidak berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih, dan surga itu akan didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa, dan akan ditampakkanlah dengan jelas neraka itu kepada orang-orang yang sesat.” (QS. as-Syu’ara’: 88-91)

Suatu hari ketika kegoncangan di hari itu sangatlah dahsyat, sampai-sampai seorang ibu melalaikan bayi yang disusuinya dan setiap janin akan gugur dari kandungan ibunya. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ

“Hai umat manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian, sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah kejadian yang sangat besar. Ingatlah, pada hari itu ketika kamu melihatnya, setiap ibu yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan mengalami keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sesuangguhnya mereka tidak sedang mabuk, namun ketika itu adzab Allah sangatlah keras.” (QS. al-Hajj: 1-2)

Khauf kepada Allah semata merupakan bukti jujurnya keimanan seorang hamba. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya itu hanyalah syaitan yang menakut-nakuti para walinya, maka janganlah kalian takut kepada mereka, akan tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalin benar-benar beriman.” (QS. Ali Imran: 175)

Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Apabila ketiga perkara ini terkumpul: cinta, harap, dan takut, maka itulah asas tegaknya aqidah.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18).

Ketiga hal di atas -mahabbah, raja’ dan khauf- merupakan pondasi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu para ulama kita mengatakan, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja maka dia adalah seorang Zindiq. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan rasa takut semata, maka dia adalah seorang Haruri/penganut aliran Khawarij. Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan cinta, takut, dan harap maka dia adalah seorang mukmin muwahhid.” (Syarh Aqidah at-Thahawiyah tahqiq Ahmad Syakir [2/275] as-Syamilah).

Faedah Keempat: Kewajiban untuk mentauhidkan Allah

Di dalam ayat ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ terkandung ajaran untuk mentauhidkan Allah ta’ala. Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan kandungan ayat ini, “Maknanya adalah: Kami mengkhususkan ibadah dan isti’anah hanya untuk-Mu…” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/28]). Inilah hakikat ajaran Islam yaitu mempersembahkan segala bentuk ibadah kepada Allah semata. Karena tujuan itulah Allah menciptakan jin dan manusia. Untuk mendakwahkan itulah Allah mengutus para nabi dan rasul kepada umat manusia. Dengan ibadah yang ikhlas itulah seorang hamba akan bisa menjadi sosok yang bertakwa dan mulia di sisi-Nya. Allah ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)

Allah ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Tidaklah Kami mengutus sebelum seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai umat manusia, sembahlah Rabb kalian, yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 21)

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)

Maka barangsiapa yang menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah sungguh dia telah terjerumus dalam kemusyrikan. Sebagaimana kita meyakini bahwa Allah satu-satunya yang menciptakan alam semesta ini, yang menghidupkan dan mematikan, yang menguasai dan mengatur alam ini, maka sudah seharusnya kita pun menujukan segala bentuk ibadah kita yang dibangun di atas rasa cinta, harap, dan takut itu hanya kepada Allah semata.

Faedah Kelima: Kewajiban untuk bertawakal kepada-Nya

Hal ini terkandung di dalam potongan ayat ‘wa iyyaka nasta’in’. Karena kita meyakini bahwa tidak ada yang menguasai kemanfaatan dan kemadharatan kecuali Allah, tidak ada yang mengatur segala sesuatu kecuali Dia, maka semestinya kita pun bergantung dan berharap hanya kepada-Nya. Kita tidak boleh meminta pertolongan dalam perkara-perkara yang hanya dikuasai oleh Allah kepada selain-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,

يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ

“Hai anak muda, aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan menemukan-Nya di hadapanmu. Apabila kamu meminta maka mintalah kepada Allah. Apabila kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah. Ketauhilah, seandainya seluruh manusia bersatu padu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu maka mereka tidak akan memberikan manfaat itu kepadamu kecuali sebatas apa yang Allah tetapkan untukmu. Dan seandainya mereka bersatu padu untuk memudharatkan dirimu dengan sesuatu maka mereka tidak akan bisa menimpakan mudharat itu kecuali sebatas apa yang Allah tetapkan menimpamu. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah mengering.” (HR. Tirmidzi, dia berkata; hasan sahih, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [2516])

Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan baginya jalan keluar dan akan memberikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah pasti mencukupinya.” (QS. at-Thalaq: 2-3)

Orang-orang yang beriman adalah orang yang bertawakal kepada Allah semata. Allah ta’ala berfirman,

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. al-Maa’idah: 23)

Apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Allah ta’ala juga berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka hati mereka menjadi takut/bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Orang-orang yang mendirikan sholat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sejati, mereka akan mendapatkan derajat yang berlainan di sisi Rabb mereka dan ampunan serta rezeki yang mulia.” (QS. al-Anfal: 2-4)

Dengan mengingat Allah maka hati mereka menjadi tenang. Allah ta’ala berfirman,

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28)

Berbeda halnya dengan orang yang bergantung dan berharap kepada selain Allah. Hati mereka tenang dan gembira ketika mengingat sesembahan dan pujaan selain Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Apabila disebut nama Allah saja maka akan menjadi kesal hati orang-orang yang tidak beriman dengan hari akhirat itu, sedangkan apabila disebut selain-Nya maka mereka pun tiba-tiba merasa bergembira.” (QS. az-Zumar: 45)

Karena tawakal pula seorang hamba akan bisa masuk ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Akan masuk surga tujuh puluh ribu orang di antara umatku tanpa hisab, mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak mempunyai anggapan sial/tathayyur, dan hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma).

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id Selengkapnya...
 

Mengenai Saya

Foto Saya
dwinggy
Sebuah keinginan untuk mencari cinta sejati, petualangan yang tidak pernah berenti di dunia ini, mencari Islam yang hakiki, haus dengan ilmu Al Quran dan Assunnah, hidup di alam sunnah dengan bahagia. Bahagia di atas manhaj salaf
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Cool Blue Outer Glow Pointer
© 2009 Free Blogger Template powered by Blogger.com | Designed by Amatullah |Template Design